PALU – Komisi I DPRD Sulteng disarankan untuk menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang pengentasan kemiskinan desa. Saran ini datang dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembangunan Desa dan Perdesaan (PDP),Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT).
Saran itu mengemuka dalam kunjungan konsultasi anggota Komisi I DPRD Sulteng, di lantai II gedung B, Kemendes PDTT, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (10/11/2023).
Direktur Advokasi dan Kerjasama Desa, Muhammad Fachri yang menerima kunjungan konsultasi Komisi I DPRD Sulteng menyebut pihaknya siap mendampingi tim penyusun Raperda. Pihaknya mempunyai data IDM (Indeks Desa Membangun) yang mencakup semua desa di Sulteng. Dari data itu bisa dipetakan potensi dan masalah yang ada di desa.
“Itu keren. Kita bisa langsung detailkan activity-nya apa. Kalau terkait pemberdayaan desa itu masih rancu, kita mau melakukan apa?,” katanya.
Sedianya, komisi I datang dalam rangka berkonsultasi terkait rencana pembentukan Raperda inisiatif tentang pemberdayaan desa yang saat ini sedang dalam tahap penyusunan naskah akademik
Namun menurut Fachry, lebih baik langsung fokus di Raperda pemberantasan kemiskinan, dengan catatan harus dimulai dengan data yang valid.
“Susun instrumen datanya, berikan anggarannya ke desa untuk menyusun itu, standarisasi musyawarah desa,” ujar mantan Kabag Humas Pemkab Sigi itu.
Terkait pemberdayaan desa adat, ia juga mempertanyakan apa target yang ingin dicapai. Jika ingin mencontoh Bali, kata dia, karakter desanya dengan Sulteng berbeda. Di Bali, kata dia, ada desa dinas dan ada desa adat.
“Tapi desa adat tidak, semua tanah dan aset lainnya milik desa adat karena itu memang berlaku sejak turun temurun. Makanya saya bingung pada desa-desa yang menuntut pembentukan desa adat, targetnya apa. Cukup penguatan lembaga adat dan itu dimungkinkan dengan dana desa,” tekannya.
Ia pun kembali menyarankan kepada DPRD Sulteng untuk membuat Raperda yang fokus pada pengentasan kemiskinan di desa yang intervensinya mulai dari provinsi, kabupaten hingga ke desa.
“Itu cakep, karena belum ada di Indonesia yang membuat seperti itu. Jadi tidak semua terfokus pada arahan pemerintah pusat. Misalnya soal DTKS, ketika masih ada ditemukan inclusion error dan exclusion error berarti datanya tidak valid,” ujarnya.
Pihaknya, lanjut dia, ingin mendorong program pemerintah daerah yang fokus pada pengentasan kemiskinan di desa. Sebab jika menunggu program pusat, persoalannya akan kembali ke masalah data.
Ia juga menyinggung pelaksanaan musyawaran rencana pembangunan (musrenbang) tingkat desa yang dianggapnya hanya ritual saja.
“Negeri kita ini negeri seremoni. Saya pernah jadi kepala desa, saya pernah jadi lurah, hampir tidak pernah terpenuhi usulan kita itu di musrenbang desa,” imbuhnya.
Di tempat yang sama, Koordinator Pendampingan Desa, Suhandani, berpendapat bahwa Raperda yang direncanakan Komisi I tetap terkait pemberdayaan desa yang goalnya untuk mengentaskan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan.**