PALU – Satuan Tugas Penyelesaian (Satgas ) Provinsi Sulawesi Tengah menggelar rapat bersama PT Hengjaya Mineralindo (HM), perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Kabupaten , Jumat (24/10/2025).

Rapat yang dipimpin Ketua Satgas PKA Eva Susanti Bande, didampingi Sekretaris Apditya Sutomo, serta perwakilan Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, dan Biro Hukum Setdaprov, membahas sejumlah pengaduan masyarakat dari Desa Laefu, One Ete, Bete-Bete, dan Tandaoleo di Kecamatan Bungku Pesisir serta Kecamatan Bahodopi.

menyampaikan, masyarakat mengajukan beberapa tuntutan terhadap PT Hengjaya Mineralindo, antara lain terkait legalisasi lahan kebun, ganti rugi tanaman yang rusak, dan dugaan aktivitas penambangan tanpa izin. Warga juga meminta transparansi atas areal Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), rekrutmen tenaga kerja lokal, serta penyaluran tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Sekretaris Satgas PKA, Apditya Sutomo, mengatakan laporan warga menunjukkan adanya dugaan pelanggaran sejumlah regulasi, termasuk UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Jika lahan garapan masyarakat berada di dalam kawasan yang telah diberikan izin kepada perusahaan, harus dilakukan inventarisasi dan verifikasi untuk menentukan batas hak serta memastikan kompensasi yang adil,” ujar Apdi.

Ia menegaskan, apabila masyarakat terbukti telah menggarap lahan sebelum terbitnya izin usaha pertambangan, maka hak mereka harus dihormati melalui mekanisme musyawarah yang adil dan transparan.

Dari pihak perusahaan, PT Hengjaya Mineralindo mengutus dua perwakilan Divisi CSR, Rahmat dan Fitrah, yang membenarkan adanya aktivitas masyarakat di dalam wilayah konsesi. Fitrah menjelaskan, proses verifikasi dan pembayaran kompensasi dilakukan oleh Tim 16, dengan total dana yang telah disalurkan mencapai Rp19 miliar — terdiri dari Rp14 miliar di Desa Bete-Bete untuk 350 penerima dan Rp5 miliar di Desa Padabaho.

Namun, Fitrah mengaku perusahaan tidak memegang dokumen pembayaran karena semua bukti dikelola oleh Tim 16.

Dalam rapat tersebut, Satgas PKA Sulteng merekomendasikan agar PT Hengjaya melakukan pengecekan dan pengambilan sampel air di sejumlah titik mata air dan sungai yang diduga tercemar, serta validasi data kepemilikan lahan dan tanaman di lima desa terdampak.

Eva Bande menegaskan bahwa penyelesaian konflik harus menyentuh semua aspek, termasuk lingkungan dan hak masyarakat lokal.

“Hak-hak rakyat tidak bisa ditawar. Lahan yang telah dikuasai warga selama puluhan tahun adalah bukti sah hak mereka, bukan milik perusahaan,” tegas Eva Bande.

Ia menambahkan, PT Hengjaya diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat yang telah menggarap lahan sebelum izin terbit, melalui musyawarah yang adil serta membuka program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) agar dana CSR terserap lebih optimal.**