– Ribuan hektare lahan sawit di Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, kembali menjadi ajang sengketa panjang antara warga dan PT Lestari Tani Teladan (LTT).

Warga dari lima desa Polanto Jaya, Minti Makmur, Tinauka, Towiora, dan Rio Mukti memprotes perusahaan yang dituding mengelola lahan di luar izin Hak Guna Usaha (HGU) serta merambah wilayah eks-transmigrasi.

ini bukan hal baru, melainkan berakar sejak awal 2000-an ketika warga mulai menentang kehadiran perusahaan sawit dan bahkan mengalami kekerasan pada 2004.

Ketua Satgas Penyelesaian Konflik Sulteng, Eva Bande, menegaskan laporan warga langsung direspons dan akan ditelusuri riwayat penguasaan lahan kemudian memastikan hak-hak masyarakat tidak diabaikan.

“Perusahaan tidak perlu pakai cara intimidatif, sudah bukan zamannya. Pemerintah juga harus hadir secara hukum dan moral. Pemilik tanah dan air ini adalah rakyat,” tegas Eva, Selasa (19/8/2025).

Eva mengingatkan bahwa sesuai Permentan, 20 persen dari konsesi HGU seharusnya diberikan kepada masyarakat. Ia mendorong Drs. H. Longki Djanggola, M.Si, anggota Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra, untuk mengawal penyelesaian konflik agraria ini di tingkat pusat.

Menanggapi konflik tersebut, Longki Djanggola menegaskan komitmennya untuk mengawal penyelesaian masalah ini hingga tuntas. Menurutnya, yang utama adalah memastikan kepastian hukum dan perlindungan hak masyarakat atas lahan penghidupan mereka. Bahkan, politisi Gerindra itu juga sudah beberapa kali turun ke lapangan untuk memastikan aduan masyarakat atas lahan mereka.

“Saya minta semua pihak, terutama perusahaan, punya itikad baik menyelesaikan persoalan ini dan mau selalu duduk bersama dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Persoalan ini harus diselesaikan secara jujur, adil, dan sesuai aturan hukum yang berlaku, agar semua pihak dapat memeroleh kemanfaatannya,” ujarnya di Komplek DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).

Sedang itu, Kepala Desa Minti Makmur, Kasnudin, mengingatkan kembali tragedi 2004 ketika warga, termasuk perempuan dan anak-anak, mengalami kekerasan akibat konflik lahan.

“Kalau karena kami memilih tanah ini lantas patut direpresi, tunjukkan undang-undangnya! Saya melihat rakyat saya menderita, saya siap mengembalikan tanah ini kepada mereka,” ungkapnya.

Sekdes Polanto Jaya, Riyadi, menambahkan adanya tumpang tindih sertifikat antara HGU PT LTT dan SHM milik warga yang sejak 1990-an mengelola lahan transmigrasi.

“Ada sekitar 254 hektare sawit milik PT LTT yang berdiri di luar HGU, masuk ke lahan bersertifikat warga,” jelasnya.

BPN Donggala menegaskan, jika benar ada tumpang tindih antara SHM dan HGU tanpa pelepasan hak, maka HGU bisa dibatalkan.

“SHM dan HGU tidak boleh tumpang tindih. Harusnya hanya satu sertifikat di atas satu bidang tanah,” tegas perwakilan BPN.—Menanggapi tudingan itu, Direktur PT LTT, Agung, menyatakan siap memverifikasi data di lapangan.

“Kami sudah punya data ganti rugi dan kompensasi. Silakan warga yang punya SHM kumpulkan datanya. Nanti kita sinkronkan dengan data perusahaan dan serahkan ke Pemda Donggala,” ujarnya.

Lebih lanjut, Asisten I Pemda Donggala, Moh. Yusuf Lamakampali, menegaskan penyelesaian kasus ini akan dilakukan bertahap. “Langkah kita, step by step. Kita cari solusi percepatan yang adil untuk semua pihak,” tandasnya.

Konflik yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade ini kini kembali menjadi perhatian serius pemerintah daerah, pusat, hingga DPR RI. dijadwalkan memanggil semua pihak untuk mencari titik temu penyelesaian yang adil dan berpihak pada masyarakat.**