PALU – Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi B DPRD Kota Palu mempertemukan perwakilan Asosiasi Pedagang Kuliner (ASPEK) Sulawesi Tengah dengan Pemerintah Kota Palu di ruang sidang utama DPRD kota Palu Jumat (15/8/2025).
Suasana rapat berjalan penuh dinamika, membahas keluhan pedagang terkait penerapan pajak 10% dan penyegelan tempat usaha.
Rapat dipimpin Ketua Komisi B DPRD Kota Palu, Rusman Ramli, bersama anggota Muslimun, Nurhalis Nur, dan Ratna Mayasari Agan. Hadir pula Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Palu Eka Komalasari dan Kepala Bagian Hukum Setda Kota Palu Mohammad Affan.
Pedagang: Janji Tak Terpenuhi, Pajak Diterapkan Surut
Wakil Ketua ASPEK, Novrie, menyampaikan kekecewaan pedagang atas penerapan pajak 10% yang dianggap memberatkan, terutama bagi usaha kecil. Kata dia, Pemkot pernah menjanjikan pajak tersebut tidak diberlakukan kepada pedagang kecil, namun kenyataannya diberlakukan penuh bahkan ditarik surut hingga 2023.
“Ada teman kami yang sampai harus pinjam uang untuk bayar pajak. Kami ini hanya ingin menghidupi keluarga dan tetap berkontribusi pada daerah,” tegas Novrie.
ASPEK mengajukan empat tuntutan utama kepada Pemkot:
1. Penghentian penyegelan tempat usaha dan mengganti penindakan dengan pendekatan dialog.
2. Pemutihan pajak untuk periode masa pandemi COVID-19.
3. Kepastian hukum yang jelas terkait aturan pajak dan penerapannya.
4. Penghentian penagihan langsung di lapangan tanpa koordinasi, dengan semua permasalahan disalurkan melalui asosiasi.
Ketua ASPEK, Bino Juwarno, menambahkan bahwa pedagang tidak menolak membayar pajak, namun menuntut kebijakan yang adil dan proporsional.
“Kami mendukung pendapatan daerah, tapi harus ada klasifikasi yang jelas antara usaha kecil dan restoran besar. Jangan disamaratakan,” tegas Herman.
Pajak Diterapkan Sesuai Aturan Nasional
Kepala Bapenda Kota Palu, Eka Komalasari, menjawab bahwa penerapan pajak restoran 10% bukan kebijakan sepihak Pemkot, melainkan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 dan Perda Kota Palu Nomor 9 Tahun 2023.
“Aturan ini berlaku nasional. Jadi Pemkot hanya menjalankan regulasi yang sudah ditetapkan,” jelas Eka.
Terkait usulan pedagang soal klasifikasi tarif berdasarkan omset, Eka menyebut hal itu memiliki risiko besar.
“Restoran besar bisa saja mengaku sebagai usaha kecil untuk menghindari tarif penuh. Tanpa data omset yang valid, sulit bagi kami memverifikasi klaim tersebut,” ujarnya.
Eka juga menekankan bahwa pemerintah tidak serta-merta melakukan penyegelan. Langkah itu diambil setelah melalui proses teguran berjenjang dan upaya persuasif.
“Sebelum disegel, ada SP1, SP2, SP3. Kalau tidak ada respons, baru penyegelan. Ini bukan tindakan spontan,” kata Eka.
Ada Ruang Keringanan
Kabag Hukum Mohammad Affan menegaskan bahwa secara aturan, pajak 10% dibebankan kepada konsumen, bukan pelaku usaha. Ia juga mengingatkan adanya mekanisme resmi untuk meminta keringanan atau bahkan penghapusan pajak.
“Silakan ajukan permohonan tertulis kepada Wali Kota disertai data omset. Kami terbuka untuk meninjau ulang Perda, tapi perlu ada dasar yang jelas,” kata Affan.
Affan menambahkan, sebanyak 53 wajib pajak tercatat belum membayar selama lima tahun terakhir meski sudah mendapat teguran. Menurutnya, data omset dari asosiasi akan sangat membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan yang lebih proporsional.
“Kalau asosiasi bisa berikan data valid, kami siap duduk bersama mempertimbangkan revisi atau penyesuaian Perda,” tegasnya.
Hasil Kesepakatan RDP
Di akhir rapat, Komisi B DPRD Kota Palu berhasil memfasilitasi kesepakatan awal antara ASPEK dan Pemkot:
• Komunikasi dan pendataan ulang akan dilakukan bersama antara ASPEK dan Pemkot, disertai pendampingan bagi pelaku usaha terkait kewajiban pajak.
• Penyegelan tempat usaha dihentikan selama proses pendataan dan koordinasi berlangsung.
Komisi B Minta Jalan Tengah
Menutup rapat, Ketua Komisi B DPRD Kota Palu, Rusman Ramli, meminta kedua belah pihak meningkatkan komunikasi dan transparansi data. Ia menegaskan bahwa penyegelan tidak harus menjadi opsi terakhir.
“Kita ingin kebijakan yang berpihak tapi juga menjaga target pendapatan daerah. Pemerintah harus humanis dan komunikatif, sementara pelaku usaha juga harus kooperatif agar tidak ada bentrok dan saling merugikan,” pungkas Rusman.(Bim)