PALU – kembali menggelar Palu Menari 2025 dengan mengusung tema “Move /ON; Titik Kumpul”. Agenda tahunan ini berlangsung 23–25 September di Kelurahan Tawanjuka, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, sebagai refleksi atas peristiwa gempa 28 September 2018 sekaligus wadah dialog tentang kebencanaan.

Festival menghadirkan 13 koreografer utama dan 17 kelompok tari dari Palu, Sigi, serta partisipan dari Gorontalo dan Buol.

“Palu Menari Festival hadir untuk mengingatkan bahwa bencana masih begitu dekat dalam kehidupan kita. Trauma pasca-bencana justru bisa menjadi bencana baru jika pemerintah tidak hadir,” kata manajer program Komunitas Seni Lobo, Iin Ainar Lawide.

Menurut Iin, “Titik Kumpul” dipilih karena merepresentasikan ruang aman ketika bencana sekaligus kebutuhan ruang interaksi seni di Palu yang belum sepenuhnya terwadahi.

“Seni di Palu sejak lama membutuhkan titik kumpul, tempat di mana ide bisa dipertukarkan dan seniman bisa saling menguatkan,” ujarnya.

Selain pertunjukan tari, festival juga menyajikan forum dialog kota dan daerah, pemutaran film tari, serta pameran karya tulis koreografer. Program Manajemen Talenta Nasional Seni Budaya turut melengkapi agenda dengan menghadirkan koreografer internasional Dr. Eko Supriyanto dan penari senior Hartati.

Iin menegaskan, Palu Menari bukan sekadar pertunjukan, melainkan upaya membangun literasi tari, memperkuat generasi muda, serta membuka ruang baru bagi para koreografer.

“Kami ingin menegaskan bahwa menari bukan sekadar tontonan seremonial, tetapi dialog tubuh yang menyimpan ide dan gagasan,” ungkapnya.

Tahun ini menjadi edisi tahunan terakhir Palu Menari Festival sebelum berubah menjadi bienial. Festival berikutnya akan kembali digelar pada 2027 dengan program riset dan penulisan yang lebih mendalam pada 2026.

Iin berharap pemerintah daerah dapat memberi dukungan yang lebih luas bagi komunitas seni, tidak hanya dalam bentuk pendanaan tetapi juga fasilitas dan kesempatan belajar.

“Tari punya magnet yang kuat untuk membawa perubahan. Saya berharap koreografer muda di Sulawesi Tengah mendapat ruang yang lebih besar agar mereka bisa tumbuh tanpa harus mengalami kesulitan seperti generasi sebelumnya,” pungkasnya.

Pembukaan festival turut dihadiri Direktur Pengembangan Budaya Digital, Kementerian Kebudayaan RI, Andi Syamsu Rijal beserta tim; Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII, Andriany; Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah, Andi Kamal; Kepala UPT Taman Budaya & Museum Sulteng, Rim; Lurah Tawanjuka; anggota DPRD Kota Palu, Mutmainnah Korona; jajaran OPD Kota Palu; akademisi; seniman; budayawan; pelaku usaha lokal; serta warga Tawanjuka yang antusias menyambut perhelatan tersebut.(BIM)