PALU – Ketua Komisi C DPRD Kota Palu, Abdurahim Nasar Al-Amri, menyoroti sejumlah kejanggalan dalam program hunian tetap (huntap) yang dilaporkan warga Huntara Asam III dan Buvukula.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP), ia mempertanyakan logika pungutan Rp20 juta yang diminta Yayasan Islah Bina Umat kepada warga penyintas bencana di ruang sidang utama DPRD Jl. Moh Hatta, Kota Palu, Selasa (26/8/2025).
Menurut Abdurahim, pungutan tersebut tidak masuk akal karena proyek huntap tahap pertama sebanyak 125 unit rumah dibagikan tanpa biaya.
“Mengapa tahap kedua justru diminta kontribusi hingga Rp20 juta? Ini jelas janggal dan menimbulkan tanda tanya besar,” tegasnya.
Persoalan ini sebelumnya juga sudah memicu perdebatan antara warga dan pihak yayasan. Warga merasa terbebani dengan pungutan yang awalnya disebut Rp12 juta, lalu naik menjadi Rp20 juta tanpa kejelasan. Tidak sedikit dari mereka bahkan mengaku merasa ditipu, karena sejak awal diinformasikan bahwa rumah tersebut merupakan bantuan donatur Kuwait yang seharusnya diberikan secara gratis.
Sementara pihak yayasan berdalih bahwa program bantuan ini merupakan lanjutan dari proyek yang mulai dijalankan sejak 2019 pascabencana gempa, tsunami, dan likuefaksi. Bantuan tersebut berasal dari donatur Kuwait yang berkomitmen membangun 250 unit rumah bagi para penyintas. Pada tahap pertama di Doda, Kabupaten Sigi, sebanyak 125 unit rumah berhasil dibangun di atas tanah hibah dan diberikan gratis tanpa pungutan.
Namun, pada tahap kedua yang dilaksanakan di Tengau untuk membangun sisa 125 unit, yayasan harus membeli lahan senilai Rp1,5 miliar. Karena itulah warga diminta kontribusi Rp12 juta untuk menutup biaya lahan dan listrik. Belakangan, pungutan itu naik menjadi Rp20 juta dengan alasan adanya kebutuhan tambahan, seperti penyediaan air bersih, jalan, dan drainase.
Yayasan menegaskan bahwa donatur Kuwait hanya menanggung biaya pembangunan fisik rumah, sementara lahan dan fasilitas dasar di luar rumah tidak termasuk dalam bantuan.
Meski demikian, penjelasan tersebut tetap dipersoalkan warga dan anggota DPRD. Abdurahim menilai, apapun alasannya, penyintas bencana tidak seharusnya dibebani pungutan sebesar itu.
“Air, listrik, jalan, dan drainase adalah kewenangan pemerintah, bukan tanggungan masyarakat. Kalau ada bantuan dari Kuwait, mestinya itu sudah menjadi solusi, bukan menambah masalah baru,” ujarnya.
Selain pungutan, Abdurahim juga menyoroti status tanah yang digunakan dalam proyek huntap. Jika benar lahan telah dibeli yayasan dengan dana Rp1,5 miliar, kata Abdurahim, tidak seharusnya masyarakat kembali diminta membayar.
“Kami ingin memastikan lahan ini milik siapa. Jangan sampai warga dirugikan di atas tanah yang statusnya tidak jelas,” ujarnya.
Ia menilai kejanggalan pungutan, status lahan, dan sumber bantuan dari Kuwait ini semakin menegaskan adanya ketidaktransparanan. Menurut Abdurahim, penyintas bencana seharusnya mendapat kepastian bantuan, bukan dibebani biaya tambahan.
“Air, listrik, jalan, dan drainase adalah kewenangan pemerintah, bukan tanggungan masyarakat,” tegasnya.
Komisi C DPRD Palu sendiri merencanakan tindak lanjut berupa kunjungan ke kantor yayasan dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mungkin BNPB. Abdurahim menekankan, langkah ini perlu untuk memastikan kejelasan data, status lahan, sekaligus hubungan antara yayasan di Palu dengan yayasan induk.
Ia menegaskan DPRD akan mengawal persoalan ini hingga tuntas.
“Kami minta warga bersabar, karena proses ini membutuhkan waktu. Namun DPRD berkomitmen memastikan agar masyarakat tidak lagi dirugikan,” tutup Abdurahim. (Bim)