PALU — Kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Sulawesi Tengah (Sulteng) terus menunjukkan peningkatan signifikan dalam tiga tahun terakhir. Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng mencatat hingga Oktober 2025 telah ditemukan 658 kasus, dan angka tersebut diperkirakan naik menjadi 710–720 kasus pada akhir tahun.
“Jumlah ini kemungkinan besar akan melampaui temuan tahun 2024,” ujar Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Sulteng, dr. Jumriani, Kamis (11/12/2025).
Kenaikan kasus juga terjadi di Kota Palu. Tahun 2023 tercatat 245 kasus, meningkat menjadi 326 kasus pada 2024, dan mencapai 283 kasus hingga Oktober 2025. Tiga daerah dengan kasus tertinggi secara konsisten adalah Kota Palu, Morowali, dan Banggai.
Di Morowali, temuan kasus meningkat dari 62 kasus pada 2023 menjadi 80 kasus pada 2024, serta 73 kasus hingga Oktober 2025. Sementara di Bangkep dan Balut, laporan kasus tetap di bawah 20 per tahun.
Menurut dr. Jumriani, tingginya mobilitas penduduk turut berpengaruh terhadap peningkatan kasus.
“Transportasi dan mobilitas makin lancar, sehingga potensi penularan juga meningkat,” jelasnya.
Ia menegaskan identitas pasien HIV dilindungi secara ketat untuk menghindari stigma dan diskriminasi.
“Data by name, by address tidak boleh dibuka. Mereka sangat takut dikucilkan. Padahal HIV adalah penyakit yang justru paling sulit penularannya,” katanya.
dr. Jumriani menambahkan bahwa HIV tidak mudah menular melalui kontak kasual seperti air liur, bekas minuman, atau sentuhan. Penularan lebih sering terjadi melalui penggunaan jarum suntik, hubungan seksual tidak aman, atau transfusi darah. Ia juga menyebut bahwa hubungan sesama jenis termasuk kategori berisiko tinggi.
Dinas Kesehatan Sulteng menerapkan penanganan berbasis wilayah dan pemeriksaan viral load dilakukan rutin setiap bulan bersamaan dengan pengambilan obat Antiretroviral (ARV).
“Setiap kabupaten/kota sudah punya tempat pengambilan obat. Pasien rutin dipantau viral load-nya,” ujar dr. Jumriani.
Ia menjelaskan bahwa penularan dari populasi kunci lebih mudah dipetakan, namun tantangan terbesar justru muncul dari pendatang atau individu yang tidak menetap dalam satu wilayah. Karena itu, ia mengimbau masyarakat untuk menerapkan perilaku seksual aman.
“Minimal gunakan kondom. Tapi yang terbaik adalah menghindari seks bebas,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa HIV masih dapat ditangani sebelum berkembang menjadi AIDS, kondisi ketika tubuh kehilangan kemampuan melawan infeksi lain.
“Sekitar 80–90 persen pasien AIDS meninggal karena tubuh tidak mampu melawan penyakit apa pun,” jelasnya.
dr. Jumriani menyoroti kecenderungan meningkatnya kasus HIV pada kelompok remaja. Ia menyebut pernah menangani pasien berusia 12–14 tahun, baik dari penularan ibu maupun perilaku berisiko.
“Ada pasien saya umur 20 tahun yang kemungkinan sudah tertular sejak usia 15 tahun. Ini sangat mengkhawatirkan,” tandasnya.***