PALU – Badan Pengawas Pemilihan Umum () menggelar kegiatan “Penguatan Fungsi Kelembagaan Bawaslu Kota Palu Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” di Swiss-Belhotel Silae, Sabtu (30/8/2025).

Agenda ini menjadi ruang diskusi penting pasca Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang mengubah desain penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Dialog dimoderatori langsung olehKetua Bawaslu Kota Palu, Wahid, ini menghadirkan Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Drs. H. , M.Si., sebagai pembicara awal.

Dalam pemaparannya, Longki menegaskan bahwa meski partainya belum mengambil sikap resmi, secara pribadi ia mendukung putusan MK tersebut.

“Sebagai kader partai, saya harus hati-hati. Sampai hari ini partai belum menyampaikan sikap resmi. Tapi secara pribadi saya setuju dengan putusan MK ini,” ujar Longki.

Longki menilai keputusan MK memberi ruang bagi evaluasi mendalam atas praktik pemilu serentak yang dinilai terlalu membebani penyelenggara. Ia bahkan mengibaratkan pemilu serentak seperti “menggelar resepsi sepuluh pasangan pengantin dalam satu hari.”

“Bayangkan, mengurus kursi, pelaminan, tamu, dan semua kebutuhan sepuluh pernikahan sekaligus. Itu yang dirasakan penyelenggara kita. Tidak heran ada petugas kelelahan hingga sakit bahkan meninggal dunia. Itu harus kita hindari,” jelasnya.

Ketika ditanya soal untung rugi putusan MK, Longki menyebut ada dampak positif sekaligus tantangan. Dari sisi keuntungan, beban kerja penyelenggara akan lebih ringan, kualitas pengawasan meningkat, dan tersedia ruang waktu lebih panjang untuk evaluasi.

“Kalau pemilu dipisah, tentu pengawasan lebih fokus. Tidak lagi seperti ‘pernikahan massal’ yang melelahkan. Ini baik bagi KPU dan Bawaslu, kualitas pengawasan bisa lebih baik,” ujarnya.

Namun, ia mengingatkan agar jeda pemilu tidak terlalu panjang. “Kalau sampai jeda dua setengah tahun, itu terlalu lama. Bisa menimbulkan kerawanan politik. Kita butuh skema yang lebih ideal, tidak memberatkan tapi juga tidak terlalu jauh jaraknya,” tegasnya.

Longki juga menyoroti inkonsistensi putusan MK yang berpotensi memengaruhi masa jabatan kepala daerah.

“Presiden tetap lima tahun, tapi gubernur dan bupati bisa baru dilantik 2031. Ini menimbulkan ketidakseimbangan dan bisa jadi bahan tuduhan ketidaknetralan,” katanya.

Lebih jauh, ia menekankan pentingnya menjadikan putusan MK sebagai momentum memperkuat kelembagaan Bawaslu.

“Bawaslu tidak boleh hanya menjadi pengawas formalitas. Demokrasi hanya bisa tegak kalau pengawasnya kuat. Kalau Bawaslu lemah, suara rakyat bisa tergadaikan,” pungkasnya. (Bim)