PALU – Menyikapi berlarutnya konflik agraria di Kabupaten Tolitoli, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tengah menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama masyarakat, perusahaan, dan instansi terkait pada Selasa (9/9/2025) di ruang sidang utama DPRD (JI. Prof. Moh. Yamin Jalur 2)
RDP dipimpin Wakil Ketua I DPRD Sulteng, Aristan merupakan tindak lanjut dari pengaduan masyarakat terkait sengketa lahan dengan PT Citra Mitra Palma (CMP) dan PT Tanjung Enim Lestari (TEN) terkait perkebunan kelapa sawit yang tak kunjung terselesaikan.
Rapat dimulai dengan mendengarkan pernyataan perwakilan masyarakat. Dalam kesempatan itu, Marwan mengungkap sederet persoalan mulai dari dugaan penyerobotan lahan, ketidakjelasan kebun plasma (kebun sawit rakyat yang dikelola melalui pola kemitraan dengan perusahaan), praktik mafia tanah, hingga tindakan kekerasan yang dialami petani.
Ia menegaskan bahwa konflik ini sudah berlangsung lebih dari 11 tahun tanpa ada kepastian penyelesaian.
“Bertahun-tahun kami sudah menyuarakan masalah ini, tapi sampai sekarang tidak ada solusi. Laporan sudah kami buat ke desa, kecamatan, bahkan ke BPN. Beberapa kali audiensi pun hasilnya selalu buntu,” tegas Marwan.
Dari pihak perusahaan, Saiful Rijal, General Manager PT Citra Mitra Palma (CMP) dan PT Tanjung Enim Lestari (TEN), memaparkan sejarah masuknya perusahaan ke Tolitoli sejak 2014 atas undangan pemerintah daerah. Ia menolak tudingan penyerobotan lahan, dan menegaskan pembebasan dilakukan sesuai prosedur.
Namun, penjelasan Saiful beberapa kali dipertanyakan pimpinan rapat karena dinilai tidak konsisten dengan dokumen dan fakta lapangan. Misalnya, soal izin usaha yang awalnya untuk karet dan sengon tetapi kemudian dialihkan ke kelapa sawit.
“Jadi awalnya izin karet dan sengon, lalu ditanami sawit. Bagaimana proses perubahan izin ini?” tanya pimpinan rapat.
Saiful menjawab, “Benar, izin awal adalah untuk karet dan sengon, namun karena kondisi lahan tidak mendukung, kami melakukan diversifikasi dengan izin yang sama. Kami kemudian melakukan pembaruan izin dan amdal hingga memperoleh IUP budi daya. Belakangan, seluruh perizinan kami migrasikan ke OSS,” jelasnya.
Pimpinan rapat lalu kembali menyoroti proses pembebasan lahan yang disebut perusahaan hanya melibatkan pemerintah desa dan kecamatan.
“Kenapa dalam pembebasan lahan pihak perusahaan tidak melibatkan BPN? Ini rawan, karena tanpa keterlibatan BPN, keabsahan lahan bisa dipertanyakan. Jangan sampai informasi yang diberikan berbeda dengan data di lapangan,” tegas pimpinan rapat.
Dalam agenda yang sama, Ketua Satgas Penanganan Konflik Agraria Sulawesi Tengah, Eva Bande, menyatakan secara tegas bahwa akar persoalan ada pada perusahaan dan lemahnya pengawasan pemerintah daerah.
“Kalau perusahaan sejak awal taat hukum, konflik sebesar ini tidak akan terjadi. Faktanya, perusahaan beroperasi tanpa melibatkan BPN dalam pembebasan lahan, mengabaikan hak-hak masyarakat, dan plasma pun belum jelas. Yang dirugikan adalah rakyat, bukan perusahaan,” ujarnya lantang.
Ia menambahkan, pemerintah daerah pun ikut bertanggung jawab karena membiarkan konflik berlarut-larut.
“Pemerintah daerah tidak bisa cuci tangan. Dari awal mereka tahu izin yang diberikan bermasalah, tapi dibiarkan. Ini yang membuat masyarakat terus jadi korban. Negara harus hadir membela petani, bukan melindungi korporasi,” tegas Eva.
Ketua Komisi II DPRD Sulteng, Yus Mangun, kemudian mengusulkan pembentukan panitia khusus (Pansus).
“Masalah ini tidak bisa selesai hanya dengan rapat biasa. Perlu Pansus agar status perizinan jelas, operasional perusahaan berjalan baik, dan masyarakat bisa bertani dengan tenang,” katanya.
Anggota DPRD dapil Tolitoli–Buol, Hasan Patongai, bahkan lebih tegas menuding perusahaan beroperasi tanpa dasar hukum yang kuat.
“Bagaimana mungkin perusahaan berani menjalankan usaha dengan sertifikat tanah yang tidak jelas? Itu sama saja mendorong masyarakat membuat SKPT palsu. Kalau statusnya tidak jelas, jangan dibeli, jangan dibayar. Ini sudah merugikan masyarakat kami,” ujarnya.
Menutup RDP, pimpinan sidang menyatakan DPRD Sulteng akan menindaklanjuti seluruh temuan dan aspirasi dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus). Pansus ini ditugaskan mengkaji legalitas izin perusahaan, menelusuri praktik mafia tanah, serta memastikan hak-hak masyarakat terlindungi.
“Rapat hari ini belum bisa memberi keputusan final. Namun DPRD Sulteng berkomitmen membentuk Pansus untuk menyelesaikan persoalan ini secara menyeluruh. Kita ingin investasi tetap berjalan, tapi tidak boleh ada satu pun hak masyarakat yang dikorbankan,” tegas pimpinan sidang menutup rapat.(Bim)